MUMBAI - Bollywood banget !, sebuah tagline pada sebuah channel televisi Zee Bioskop yang menyuguhkan film-film India. Punya khalayak penonton sendiri di Indonesia, umumnya masyarakat menengah kebawah. Pernah ku bertanya, “alasan menonton film-film India?”
Mereka katakan, “sebuah hiburan yang penuh humor yang lucu.” Benar, Film adalah karya budaya. Budaya yang hidup pada masyarakatnya. Pada masyarakat yang tertekan secara ekonomi akan hidup rasa humornya.
Dan, Masa pandemi ini, di rumah saja mengikuti program pemerintah PPKM Tontonan itu pun, dilirik banyak orang.
“Meningkatkan sistem imun” katanya.
Mungkin ada benarnya.Teringat dulu akan sebuah bioskop bernama Rivoli. Terletak di jalan Kramat Raya, dekat Pasar Senen Jakarta
Bioskop yang selalu memutar Film-film India.
Film India
Cerita dikemas bertutur sederhana,
memunculkan akting humor diiringi lagu,
suara nyaring, menari meliuk-liukkan badannya, perempuan dan pria.
Hal yang rumitnya adalah perbedaan sosial, ekonomi, kasta dan agama, dan lain-lain
menjadi cair begitu saja, dengan akting yang lucu.
Menarik untuk dikaji
Ketika berlangsungnya revormasi tahun 1998,
Selepas dari Kairo, pesawat rombonganku
transit di Bandara Internasional Chhatrapati Shivaji Maharaj, Mumbai. Aku turun di Mumbai, lepas dari rombongan yang langsung pulang ke Jakarta. Aku masuk ke jantung kota kelahiran sineas Bollywood yang mendunia itu. Mumbai terasa kontradiktif, yang punya dua wajah. Keduanya dipertontonkan hingga batas maksimal.
Baca juga:
Sholawat Burdah
|
Hangatnya mentari saat pertama menginjakkan kaki di Kota Mumbai, tak berbeda seperti di Jakarta. Setengah dari populasi kota, tinggal di pemukiman kumuh Dharavi namanya dikenal juga dengan sebutan slum city. Sebuah kawasan kumuh, itu terlihat jelas ketika pesawat terbang akan landing, menyusuri pantai barat Maharashtra berbatasan dengan Laut Arab. Penduduk miskin kota, memanfaatkan sampah, dijadikan usaha daur ulang sebagai mata pencaharian.
Pun, kebanyakan penduduk Mumbai bekerja di sub luar kota, menggunakan kereta api yang berjubel, hanya kipas angin, jendela dan pintu yang dapat dibuka. Scene seperti itu, sering disuguhi khas film-film Bollywood. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh berkisar 40 – 50 Km dari rumah ke tempat kerja mereka. Dari sanalah pulalah, humor itu muncul sebutan “Sunday Papa.”
Bagi pekerja laki-laki, berangkat pagi buta, ketika anak-anak mereka masih tidur, dan pulang ke rumah juga pada saat anak-anak sudah tidur, ketemu intensnya dengan anak, pada saat hari minggu libur saja.
Sangat berbeda di belahan barat Mumbai,
Yang memperlihatkan kemewahan dan kesuksesan, memisahkan manusia ke dalam sebuah strata sosial dengan tingkatan berbeda beda.
Aku menginap di sebuah hotel melati dengan harga yang sedang-sedang saja, untuk ukuran Jakarta.
Aksesnya yang cukup mudah dari bandara,
karena cukup dekat dengan Stasiun Goregaon
bagian barat Mumbai. Meski sudah pukul delapan pagi, Kota Mumbai yang dahulu dikenal dengan nama Bombay, masih saja diselimuti kabut putih, kabut itu bahkan terlihat menebal hingga menutupi sekitarnya. Namun, menjelang siang berganti warna biru langit, indah terletak di Pulau Salsette di bekas jajahan Inggris.
Ketika siang hari, Aku dapat masuk ke beberapa studio film di kawasan Goregaon, Kabr khan films, UTV Motion Picture, dan Sun Picture, setelah lama sebelumnya membuat appointment. Kawasan Film City, tempat dimana sebagian besar proses pembuatan film Bollywood.
Bila kita longok sejarah perfilmannya, Film India pertama dengan suara berjudul Alam Ara ditayangkan di 1931 dan pada 1937 film berjudul Kisan Kanya merupakan film berwarna pertama di India menampilkan cerita sederhana, kental budaya lokal, dan dengan masyarakat India pun suka menonton film. Sehingga industri film jadi berkembang. Begitu masifnya perkembangan industri film di India dari dulu hingga sekarang.
Tercatat pada tahun 1950-an saja mereka mampu memproduksi sebanyak lebih 200 judul film dalam setJumlah yang dapat mengalahkan produksi film Hollywood.
Mumbai
Eddy Syarif
Tukang Foto Keliling