INFRASTRUKTUR - Bayangkan ini, sebuah truk pengangkut hasil panen dari desa terpencil melaju penuh semangat, melewati deretan sawah menghijau, menuju pasar kota. Namun, saat sampai di persimpangan menuju jalan tol, truk ini harus berhenti sejenak. Apa yang tampak seperti jalur cepat menuju pasar, ternyata menyimpan jebakan, tol yang menguras kantong! Bagi pemilik truk, setiap kilometer di jalan berbayar adalah biaya tambahan yang mau tak mau akan merangkak hingga ke harga jual produk.
Mengapa jalan yang seharusnya jadi fasilitas publik kini terasa lebih eksklusif? Begitu banyaknya jalan berbayar atau tol di negeri kita, perlahan mengubah definisi "jalan umum" yang dulunya dianggap milik bersama menjadi "jalan pribadi" dengan label harga. Akibatnya? Ongkos produksi dan biaya distribusi melonjak, sementara UMKM yang mestinya ikut bersaing jadi kepayahan karena biaya operasional yang semakin mahal. Mereka yang tak sanggup bayar tol terpaksa beralih ke jalan alternatif, yang kadang penuh kerikil dan lubang bak puzzle raksasa.
Coba kita tengok lagi efeknya bagi masyarakat. Barang-barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari beras hingga pakaian, terpaksa dijual dengan harga lebih tinggi karena tingginya ongkos logistik. Rakyat kecil yang menggantungkan harapan pada harga terjangkau pun ikut merana. Dengan tol yang menekan dompet, kesejahteraan makin jauh dari jangkauan. Tak ayal, masyarakat kelas menengah ke bawah jadi kian terbebani.
Di sisi lain, pengusaha besar masih bisa tersenyum lebar—mereka punya modal untuk menanggung beban tol dan bahkan mampu memonopoli jalur logistik. Sementara pelaku UMKM hanya bisa gigit jari, terjebak antara pilihan memperbesar biaya atau mengurangi margin. Mirisnya, jalan berbayar ini justru seolah menguntungkan mereka yang "lebih kaya" untuk mengakses jalan lebih cepat, sementara "yang lain" harus puas dengan jalan yang lebih lambat dan sesak.
Jalan berbayar ini juga menggeser tanggung jawab pemerintah pada sektor privat. Infrastruktur publik yang seharusnya gratis dan menyokong semua kalangan kini telah berubah menjadi komoditas. Jalan tol menjadi lahan bisnis, dan kita, warga negara, jadi pelanggan tetap yang tak punya pilihan.
Namun, apakah ini berarti kita tak bisa bermimpi tentang infrastruktur yang lebih adil? Tentu saja tidak. Bayangkan sebuah Indonesia di mana jalanan menghubungkan semua, dari Sabang sampai Merauke, tanpa label harga yang membelit. Sebuah negeri di mana logistik dapat bergerak bebas dan cepat tanpa beban biaya tambahan, UMKM berdaya saing tinggi, dan barang kebutuhan pokok tetap terjangkau di mana pun kita berada.
Baca juga:
Rudi Rombak Bengkong Makin Memesona
|
Di titik inilah kita berharap, mungkin kelak ada perubahan besar di atas aspal negeri ini, di mana jalan berbayar bukan lagi penghalang kesejahteraan, tetapi menjadi jembatan nyata menuju Indonesia yang lebih setara.
Jakarta, 26 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi